Untuk Menuntut Ilmu, Anak Samosir Harus "Turun Naik Gunung"

Dunia pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam hidup ini. Karena tanpa pendidikan, seseorang tidak akan mampu menuntun, mengarahkan dan membimbing dirinya.

Belakangan ini kita banyak mendapati berita dari sejumah media tentang perjuangan berat sejumlah anak dari beberapa daerah untuk dapat menuju ke sekolah mereka. Terkendala oleh akses transportasi dan jarak tempuh, mereka diharuskan menantang bahaya untuk dapat duduk di bangku kelas mereka setiap harinya. 

Kali ini kami menyajikan kisah  nyata tentang perjuangan anak Samosir, mungkin sebagian dari kalian belum tahu atau tidak pernah menyaksikannya.

Di pinggiran Danau Toba yang berada di Pulau Samosir, tepatnya di Kecamatan Simanindo ini ada Desa Parmonangan. Karena letak geografis yang berbeda, desa ini terbagi dua. Satu bagian adalah dataran berketingian sekitar 1000 meter dpl, dan yang lainnya adalah dataran berketinggian sekitar 1500 meter 

Desa Parmonagan in berada di lereng pegunungan. Sehingga masyarakat setempat sering menggunakan istilah Parmonangan atas dan Parmonangan bawah untuk menggambarkan kondisi geografis desa ini.

Di desa ini, tepatnya Parmonangan bawah, berlokasi SMP Negeri 3 Lontung, sekolah yang menjadi tempat belajar untuk anak di desa ini dan sekitarnya, termasuk anak yang tinggal di Lumban Sihombing, yaitu satu perkampungan kecil dalam wilayah Desa Parmonangan (atas).

Anak-anak dari Lumban Sihombing ini harus berjalan kaki selama satu setengah jam untuk menempuh sekolahnya. Untuk menghindari keterlambatan di sekolah, ereka harus berangkat aekitar pukul 05.00 pagi setiap haei dari rumahnya kecuali hari Minggu, soalnya hari Minggu libur.

Berdasarkan pengalaman penulis, yang merupakan alumni dari SMP Negeri 3 Lontung ini yang tinggal di Parmonangan atas, anak-anak dari desa Parmonangan atas setiap harinya harus turun gunung untuk menempuh sekolah.  Dengan pakaian sekolah yang dikemas dalam ransel agar tidak kotor selama dalam perjalanan, kami berjalan berkelompok menuruni lereng perbukitan. Demikian pula untuk pulang kembali ke rumah, kami menempuh jarak 500 meter vertikal dari sekolah.

Jadwal pulang sekolah pukul 13.00 WIB, maka kami akan tiba di rumah sekitar pukul 15.00. Selama 2 jam kami mendaki kembali lereng bukit yang hanya ditumbuhi vegetasi perdu-perduan dengan hanya beberapa pohon pinus yang dapat dijadikan tempat berteduh.

Begitu kelas berakhir, kami langsung menuju rumah seorang warga yang tak jauh dari kaki bukit, melepas sepatu masing-masing kemudian memulai perjalanan mendaki. Dengan pertimbangan agar sepatu kami tak cepat rusak karena perjalanan, kami rela menempuh perjalanan tanpa alas kaki.

Saat pulang kami ikhlas melangkahkan kaki kami. Saat itu, kesabaran kami di uji. Jika haus dalam dalam perjalanan kami hanya berharap pada "Mualmual" (Mata Air) yang berada di pertengahan lereng gunung. Tanpa disadari, setelah minum dari Mual Mata ini sepertinya semangat kami bertambah.

Kami berjalan bersamaan satu baris, karena memang jalannya seperti jalan tikus yang hanya muat 1 orang saja. Dalam perjalanan kami bisa saja istirahat sampai 3 kali. Biasanya kami istirahat di Batu Silamaklamak, Pandumaan dan Pinus (nama tempat  beristirahat).

Dalam cuaca apapun dapat dipastikan berat dan sulitnya perjalanan yang kami tempuh. Terlebih lagi dalam cuaca yang tidak mendukung, seperti hujan misalnya.  Tapi hal tersebut bukanlah penghalang bagi kami. Karena kami tahu bahwa pendidikan itu sangat penting bagi kami seperti yang di katakan orangtua kami.

Menurut anda seberapa penting Pendidikan itu? Apakah itu kewajiban yang harus dihadapi atau hanya untuk menikmati program pemerintah?

Silahkan komentar di bawah ini!

Bagikan Artikel ini